O kara

O kara
Aksara Bali
Huruf LatinO
IASTO
Fonem[o], [ɔ]
UnicodeU+1B11 , U+
Warga aksarakanthya-osthya

O kara adalah salah satu aksara swara (huruf vokal) dalam sistem penulisan aksara Bali. Aksara ini melambangkan bunyi /oː/, sama halnya seperti aksara (o) dalam aksara Dewanagari, huruf O dalam alfabet Latin. Kadang kala disamakan dengan bunyi /ɔ/, sama seperti huruf omicron (ο) dalam alfabet Yunani.

Bentuk

Bentuk O kara persis dengan bentuk angka 3 dalam aksara Bali. Bila O kara dan angka 3 ditulis bersama-sama dalam satu kalimat dengan menggunakan aksara Bali, maka tanda carik dipakai untuk membedakan huruf dan angka.

O Au 3

Penggunaan

Simbol Omkara di Bali.

O kara hanya digunakan apabila menulis bahasa non-Bali[1] (contohnya bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno) dengan menggunakan aksara Bali, atau untuk menulis kata serapan dari bahasa non-Bali dengan menggunakan aksara Bali. Contoh kata yang menggunakan O kara (dalam bahasa Bali): ostya, osadi, oga, dsb. O kara tidak digunakan apabila menulis kata-kata yang memang berasal dari bahasa Bali, atau bukan bahasa Bali yang diserap dari bahasa non-Bali. Contohnya antara lain: oncèr, osek, olih, olèg, dll. Sebagai penggantinya, dianjurkan memakai aksara Ha yang dapat dibubuhi oleh tanda taling dan tedung.

O kara dirgha

O kara dirga
Aksara Bali
Huruf LatinO
IASTŌ
Fonem[aːu], [oː], [ɔː]
UnicodeU+1B12 , U+
Warga aksarakanthya-osthya

O kara yang melambangkan bunyi /aːu/ disebut O kara dirgha (secara harfiah, dirgha berarti panjang) atau O kara matedung. Bentuknya merupakan gabungan antara tedung dengan O kara biasa. Bila O kara matedung dialihaksarakan ke dalam huruf Latin, maka ditulis "au". Namun dalam bahasa Bali, pengucapan diftong /aːu/ sering kali luluh menjadi /oː/. Dengan kata lain, diftong /aːu/ berubah menjadi /oː/. Misalnya kata "kaurawa" diucapkan "korawa", kata "mausala" diucapkan "mosala", dll.

O kara matedung yang dibubuhi oleh tanda ulu candra dianggap aksara suci oleh penganut agama Hindu di Bali. O kara matedung yang dibubuhi ulu candra tersebut dibaca "Aum". Simbol tersebut dikeramatkan oleh umat Hindu.

Referensi

  • Tinggen, I Nengah. 1993. Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: UD. Rikha.
  • Simpen, I Wayan. Pasang Aksara Bali. Diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Tingkat I Bali.

Lihat pula

Catatan kaki

  1. ^ Tinggen, hal. 11.
  • l
  • b
  • s
Aksara suara
(Vokal)
Warga Kanthya
(Konsonan
langit-langit belakang)
Ka
Ka
Kha
Ka mahaprana
Ga
Ga
Gha
Ga gora
Nga
Nga
Ha
Ha
 
Warga Talawya
(Konsonan langit-langit)
Ca
Ca
Cha
Ca laca
Ja
Ja
Jha
Ja jera
Nya
Nya
Sha
Sa saga
 
Warga Murdhanya
(Konsonan tarik-belakang)
Warga Dantya
(Konsonan gigi)
Ta
Ta
Tha
Ta tawa
Da
Da
Dha
Da madu
Na
Na
Sa
Sa danti
 
Warga Osthya
(Konsonan bibir)
Pa
Pa
Pha
Pa kapal
Ba
Ba
Bha
Ba kembang
Ma
Ma
 
Aksara ardhasuara
(Semivokal)
Ya
Ya
Ra
Ra
La
La
Wa
Wa
 
  • l
  • b
  • s
Pangangge (tanda diakritik)
Pangangge suara
(tanda vokalisasi)
a
Pepet
a
Tedung
i
Ulu
ī
Ulu sari
ṛ
Guwung macelek
u
Suku
ū
Suku ilut
e
Taling
ai
Taling detya
Pangangge tengenan
h
Bisah
r
Surang
ng
Cecek
-
Adeg-adeg
 
Pangangge aksara
(tanda semivokalisasi)
y
Nania
w
Suku kembung
r
Guwung
 
  • l
  • b
  • s
Ceciren ring babawosan (tanda baca)
 
,
Carik
.
Carik kalih
.
Pasalinan
:
Pamungkah
"
Idem
‘
Panten
“
Pamada